KIKI Si Anak Lara
Di dunia ini tak pernah ada satupun Orang Tua yang tak mencintai buah hatinya. Bagi Kiki, seburuk apapun mereka, Orang Tua tetaplah yang nomor satu.
Malam itu di tengah bulan yang sedang tertutup awan, seorang anak lahir dengan wajah yang tampan dan juga tubuh yang sehat. Tangisan Kiki bagaikan petikan gitar dari surga yang mampu membuat siapapun menangis terharu ketika mendengarnya.
Namun tidak dengan darah dagingnya.
"Laki-laki lagi," Ucap wanita yang melahirkannya. "Pasti suamiku tidak akan suka."
Benar saja, begitu sampai rumah sang Ayah tak sedikitpun menyentuh Kiki si bayi malang itu. Sang Bunda hanya mampu menangis setiap harinya ketika suaminya bahkan seakan tak pernah menganggap Kiki ada. Tak seperti kedua kakaknya, Kiki adalah laki-laki cengeng yang bahkan tak pernah keluar rumah. Hal itulah yang semakin membuatnya menjadi anak yang pendiam.
Hingga setahun kemudian Sang Bunda memutuskan untuk menitipkan Kiki pada sangkar yang lain.
"Maafkan Bunda." Hanya itu yang mampu diucapkannya ketika Kiki yang berumur setahun itu mulai menapakkan kakinya ke tempat asing yang tak pernah ia lihat.
Kiki mengira keluarga barunya akan sanggup menerimanya dengan baik, namun tidak demikian. Rumah baru Kiki adalah neraka baru yang tak pernah ia duga. Setiap hari, tangisan dan teriakan selalu menghiasi setiap kegiatan Kiki. Tanda yang mulai membiru semakin menjadikan Kiki anak yang takut terhadap apapun.
"Ini semua demi kebaikanmu." Begitu kata Ibu. Memang benar, Kiki adalah anak yang baik dan juga berprestasi. Selama sekolah dasar, tak sekalipun Kiki keluar dari tiga besar nilai tertinggi di kelasnya. Kiki adalah cerminan kawan-kawannya. Tapi ketika di rumah, Kiki bagaikan prajurit yang tunduk dengan segala perintah. Namun satu yang selalu Kiki ingat, ini semua demi kebaikannya.
Menjelang sekolah menengah, Sang Bunda kembali membawa Kiki ke kediaman barunya. Tempat yang ia rindukan selama ini. Dengan keluarga yang lengkap, Ayah; Ibu; Kedua Kakak; dan Adiknya, Kiki bersyukur telah menyatu kembali bersama keluarganya.
Namun lagi-lagi semuanya tak seperti perkiraannya. Ayah dan Bunda berpisah karena prinsip yang mereka jalani selama ini berbeda. Katanya. Kiki perlahan mencoba mengerti. Berhari-hari ia memikirkan kepada siapa ia akan mengekor. Ayah? Atau Bunda?
Bundalah yang Kiki pilih. Pada akhirnya.
Ternyata Kiki memang berbeda dari ketiga saudaranya. Ia memilih hidup dari bawah bersama Sang Bunda. Dari rumah ke rumah, komplek ke komplek, Kiki dan Bunda hidup dengan seadanya dan rumah yang tak pernah tetap. Kiki menyadari, Bunda adalah wanita yang kuat.
Tapi ia tega meninggalkanmu!
Bukan.
Bunda pergi karena tak ingin Kiki sengsara dengannya. Layaknya sekarang, Kiki merasakan seperti apa hidup menjadi Bunda. Makanan seadanya, pakaian tak pernah baru, rasanya hal itu mulai menjadi kebiasaan untuk Kiki. Kiki mulai belajar arti rasa syukur ketika hidup bersama Sang Bunda.
Tapi apa kamu tahu? Dibalik jiwa pekerja keras Bunda, Kiki tak pernah merasakan kasih sayang. Benar. Bunda adalah wanita yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk bekerja. Hingga akhirnya Kiki menyadari, seumur hidupnya ia akan selalu sendirian.
Setiap pulang tak pernah ada tempat berkeluh kesah atau sekedar bercerita tentang cita-cita. Kiki yang malang hanya mampu berbicara pada sang bulan. Di sela tidurnya, ia akan selalu mendoakan semua orang tuanya. Baginya, impiannya tak begitu penting. Hidupnya hanya untuk Orang Tua. Kiki tak pernah merasakan dendam kepada semuanya. Bagi Kiki, Orang Tua manapun akan melakukan apapun untuk anaknya.
Bahkan sampai sekarang, Kiki masih bersama Sang Bunda. Menelusuri jalan setapak menuju bukit kejayaan. Sekarang Kiki telah tumbuh menjadi pria tegar tak kenal ampun. Seperti tak ada rintangan di dunia ini yang mampu menghentikannya. Semua itu berkat Orang Tua yang tak berperan sebagaimana mestinya. Kiki sakit, namun Kiki kuat.
–Ksatria Berpena
Komentar
Posting Komentar